Saturday, December 02, 2006

Efisiensi Energi dan Perdagangan Internasional

Penulis: Harry Alexander, Peneliti di Divisi Energy Policy INDENI

Pimpinan delegasi pengusaha AS-ASEAN, Mathew P Daley dan Presiden Ford Indonesia, Richard Baker, berusaha melobi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menko Perekonomian Boediono untuk merubah kebijakan perpajakan Indonesia (10/10/2006). Mereka berusaha menyakinkan Pemerintah Indonesia untuk merubah metode perhitungan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk indsutri otomotif. Tim delegasi ini berargumentasi bahwa PPnBM di sektor otomotif seharusnya berdasarkan nilai (harga) dari kendaraannya, bukan dari tipe body atau engine displacement.

Argumentasi delegasi ini terlihat sederhana dan menyakinkan, tetapi sesungguhnya membawa kepentingan persaingan perdagangan internasional dan memberi dampak lingkungan hidup dan ketahanan energi Indonesia. Perusahaan-perusahaan otomotif raksasa Amerika Serikat seperti Ford dan General Motor, mulai tersingkir di kampung halaman mereka sendiri oleh perusahaan otomotif Jepang. Perusahaan otomotif Jepang seperti Toyota dan Honda saat ini menduduki posisi penjualan teratas di Amerika Serikat (US EPA, 2006). Hal ini disebabkan oleh keberhasilan industri otomotif Jepang menciptakan teknologi efisiensi energi dan rendah emisi dalam produk otomotif.

Pembelajaran Hemat Energi

Negara maju seperti Amerika Serikat seharusnya memberikan pembelajaran penghematan energi kepada negara-negara berkembang. Perilaku raksasa industri AS ini sangat bertolak belakang dengan kebijakan negara-negara Industri yang tergabung dalam OECD lainnya. Mereka dikenal sangat serius dalam mengelola kebijakan penghematan energi. Negara industri maju yang sebagian besar merupakan negara-negara miskin sumber daya alam dan energi ini sangat berkepentingan untuk mengamankan ketahanan energi dalam rangka menjaga kestabilitasan ekonomi dan industri mereka. Jepang adalah salah satu negara yang sangat serius melakukan efisiensi di sektor energi. Melalui peraturan perundang-undangannya, Jepang berhasil mewajibakan teknologi dan industrinya memenuhi standar efisiensi energi, bahkan mulai diberlakukan larangan bagi alat-alat yang tidak bisa mencapai standar tersebut (Yuliarto, 2006). Salah satu teknologi yang dijadikan prioritas utama adalah sektor otomotif.

Potret Energi Indonesia

Lalu bagaimana dengan strategi konservasi energi di Indonesia? Sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Indonesia tidak memiliki landasan kebijakan strategi konservasi energi yang kuat. Hal ini ditandai dengan ketiadaan Undang-Undang Energi. Saat ini kita hanya memiliki beberapa peraturan yang mengatur konservasi energi seperti Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional. Kalau ditinjau dari teori perundang-undangan dan keberlakuan hukum (gelding van het recht), maka peraturan energi yang ada saat ini memiliki banyak kelemahan dan ketidakjelasan dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Keberadaan Undang-Undang Energi adalah keniscayaan bagi pengembangan kebijakan, pengelolaan, konservasi dan kelembagaan energi yang kokoh. Selain itu, Indonesia memasuki krisis cadangan energi akibat tingginya pertumbuhan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri dan berkurangnya potensi cadangan BBM. Apalagi kondisi ini diperparah dengan ketergantungan konsumsi energi nasional yang sangat tinggi terhadap BBM dalam negeri maupun impor.

Cadangan BBM dalam negeri sendiri yang diprediksi kurang dari 18 tahun akan habis dari bumi nusantara. Sektor transportasi mengkonsumsi lebih dari 50% BBM nasional dimana 60% merupakan mobil pribadi dan angkutan barang (Bappenas, 2006). Sebagai pemakai terbesar BBM, sektor transpotasi berpotensi besar menjadi sumber strategi penghematan energi. Strategi konservasi energi di sektor ini bisa dilakukan dengan berbagai macam cara mulai dari pengembangan angkutan massal, pengurangan jumlah kendaraan pribadi sampai penerapan pajak karbon. Pemerintah harus berani memaksa industri otomotif asing dan merangsang industri dalam negeri untuk mengembangkan kendaraan hemat energi dan rendah polusi seperti mobil gas, listrik dan hybdrid. Berangkat dari sini, tidak ada alasan bagi pemerintah mengganti metode penghitungan PPnBM atas mobil yang selama ini berdasarkan kapasitas silinder mesin kendaraan bermotor.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 Tahun 2005 Tentang PPnBM mengatur pajak kendaraan bermotor sedan dengan kapasitas mesin 1.500 cc ke bawah yang dikenai PPnBM 30%, sementara sedan kapasitas mesin di atasnya sampai 2.500 cc dipisah dengan PPnBM sebesar 40%. Saat ini pemerintah terkesan ragu untuk mengambil opsi-opsi kebijakan atas PP ini. Seharusnya pemerintah mempertahankan dan bahkan kalau perlu pemerintah memberikan kemudahan perpajakan dan keringan bunga perbankan bagi industri otomotif yang mengembangkan energi alternatif dan efisiensi energi.

Lingkungan Hidup

Pilihan-pilihan kebijakan di atas akan berdampak langsung pada perlindungan lingkungan dan ketahanan energi. Dalam konteks ini, perlindungan lingkungan sangat dipengaruhi sejauh mana industri otomotif mampu melakukan penghematan energi dan minimalisasi zat buang. Pemerintah dapat menetapkan standar minimum produk industri otomotif dan memasukkan unsur disinsentif dan biaya lingkungan bagi produk industri otomotif yang tidak memenuhinya standar efisiensi penggunaan bahan bakar. Di tingkat konsumen, selain mempertahankan PPnBM Mobil yang ada, perlu di kaji kemungkinan penerapan pajak karbon. Beberapa ekonom optimis bahwa pajak karbon dapat berhasil secara signifikan menurunkan konsumsi BBM. Pajak karbon ini bertujuan meningkatkan ketahanan energi melalui produk otomotif yang ramah lingkungan.

Pajak ini bermanfaat dalam rangka pengurangan polusi udara akibat karbon dioksida, karbon monoksida dan nitrogen oksida. Sebagai Negara peratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change) dan Kyoto Protocol, Indonesia harus menunjukan komitmen kerjasama global dalam rangka menekan pemanas global. Bahkan Kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) harus mengambil peran penting dalam memberikan penyadartahuan dan penjangkauan publik. Contoh langkah sederhana, KLH bisa menerbitkan publikasi ataupun website tentang Green Vehicle Guide yang berisikan informasi detail terkait dengan emisi kendaraan bermotor, nilai pencemaran udara, efisiensi bahan bakar dan nilai gas buang sehingga masyarakat mengetahui pada saat akan membeli kendaraan bermotor. Akhirnya dukungan masyarakat-lah yang menjadi penentu keberhasilan pencapaian ketahanan energi dan perlindungan lingkungan.

Thursday, September 28, 2006

Indonesia's concession areas exceed the country's total area

Jakarta Post, September 28, 2002

By Muninggar Sri Saraswati and Musthofid

Inconsistent and overlapping legislation on forest exploitation has resulted in the total area of forest and mining concessions, of around 200 million hectares, exceeding Indonesia's total land area of 191 million hectares, according to a non-governmental organization (NGO). "Indonesia's total land area is only 191 million hectares, with another 330 million hectares of maritime zone," said the Mining Advocacy Network (Jatam). The forest and mining concession areas also exceed Indonesia's total remaining forest area of 104 million hectares, Jatam said in a recent report.

Mining projects on 84 million hectares of land have taken the largest portion of the country's land, followed by forest concessions (HPH) on some 54 million hectares of land. "It reflects an overlap in authority and lack of coordination between institutions due to inconsistent legislation on forest management," said Harry Alexander of the Natural Resources Law Institute (IHSA). As a result, the country's forests are managed by several institutions, including the forestry ministry and the energy and mineral resources ministry, as well as regional administrations. Each institution has the authority to issue concession rights and exploit the country's forests, as stipulated in their respective laws.

Environmental observer Longgena Ginting and forest expert Togu Manurung, meanwhile, blamed the plethora of mining operations on loose control by the Ministry of Energy and Mineral Resources. "Projects permits are generously handed out to two or three companies for the same area," Longgena of the Indonesian Forum for the Environment (WALHI) said, adding that it was easy for companies to obtain a mining permit. Meanwhile, Togu blamed the forestry ministry for the uncontrolled exploitation of Indonesia's forests. "The forestry ministry appears to have failed to draw a clear line between conservation areas and those allocated for commercial exploitation," Togu said.

To make things worse, Harry said, both forest and mining concessions were allowed to operate on either the protected or conserved forests. That policy explains why the total area allocated for forests concessions is way above the actual, total forested area. "Consequently, it should not come as a surprise if a mining or logging operation occurs in a protected forest," he said. Harry warned that Indonesia's forests would vanish if each institution continued to issue and enforce its own regulations without taking into account the impact on ecology. Although the forestry ministry claims there are some 104 million hectares of forest remaining, Indonesia is believed to have only 60 million hectares at present, after losing more than 75 percent of its forests to exploitation in the past few decades. Some 43 million hectares of the forest, or an area more than half the size of Borneo, has been damaged in the past five years.

The condition of the country's forests, once known as the second-largest source of biodiversity in the world after Brazil, started to decline after the New Order regime exploited the forests and mines as its two major money machines. Currently the government has also adopted an unfriendly approach to forest exploitation. It is, for example, asking for approval from the House of Representatives for 22 mining companies to resume operations within protected forests. Last July, State Minister for the Acceleration of Development in Eastern Indonesia Manuel Kaisiepo openly rejected Forestry Law No. 41/1999, which replaced Forestry Basic Law No. 11/1967. Kaisiepo rejected Article 38(4), which bans open-cast mining on protected forests, as he fears it would jeopardize some 39 mining operations in protected areas in Eastern Indonesia. While the House has yet to give its consent to the 22 companies, the proposal has drawn protests from environmentalists who warn that mining operations in protected forests would not only endanger the ecosystem but also jeopardize the lives of the indigenous people.