Tuesday, January 25, 2011

Naskah Akademik (alternate)

Anda dapat bertanya atau memberi komentar pada blog ini dengan menyebutkan identitas

Sebagai informasi, selain menggunakan pedoman dalam buku saya, anda juga dapat menggunakan kerangka naskah akademik terbaru dan lebih mudah yang diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH-01.PP.01.01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-Undangan. Permenkumham No. 1/2008 dapat ada di google di internet atau silahkan kunjungi www.kemenkumham.go.id

Berdasarkan PerMenkumham No. 1/2008, kerangka Naskah Akademik terdiri dari empat bagian, yaitu:

(1)Pendahuluan;
(2)Asas-asas yang digunakan dalam penyusunan norma;
(3)Materi muatan RUU dan keterkaitannya dengan hukum positif; dan
(4)Penutup.

Khusus untuk bagian Pendahuluan, memuat, antara lain:
(a) Latar Belakang Pemikiran mengenai alasan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis, yang mendasari pentingnya materi hukum yang bersangkutan segera diatur dengan peraturan perundang-undangan;
(b) Identifikasi Masalah,
(c) Tujuan dan Kegunaan; dan
(d) Metode Penelitian

Pada bagian latar belakang pemikiran diuraikan sebagai berikut:


1. Landasan Filosofis


Memuat pandangan hidup, kesadarn dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.


2. Landasan Yuridis


Memuat suatu tinjauan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan judul Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan yang telah ada dan masih berlaku (hukum positif). Yang termasuk dalam peraturan perundang-undangan pada landasan yuridis adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.


3. Landasan Sosiologis


Memuat suatu tinjauan terhadap gejala-gejala sosial-ekonomi-politik yang berkembang di masyarakat yang mendorong perlu dibuatnya Naskah Akademik. Landasan/alasan sosiologis sebaiknya juga memuat analisis kecenderungan sosiologis-futuristik tentang sejauhmana tingkah laku sosial itu sejalan dengan arah dan tujuan pembangunan hukum nasional yang ingin dicapai.

Monday, January 17, 2011

Biodiversitas Tersia-siakan

Biodiversitas Tersia-siakan
Sabtu, 16 Oktober 2010

Keanekaragaman hayati Indonesia dengan spesies endemik terbanyak kedua di dunia harus menjadi modal dalam persaingan global. Kendati memiliki potensi nilai ekonomi tidak terhingga, pelestarian keanekaragaman hayati belum menjadi arus utama pembangunan Indonesia.

Deputi Bidang Ilmu Hayati pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Endang Sukara menyatakan, fakta bahwa Indonesia adalah gudang raksasa keanekaragaman hayati sudah diketahui.

”Namun, publik maupun pengambil kebijakan belum memahami manfaat keanekaragaman hayati sebagai modal daya saing global,” kata Endang dalam diskusi di Jakarta, Kamis (14/10) petang.

Dari hutan dataran rendah Jambi saja, hasil hutan nonkayu yang bernilai ekonomis meliputi 51 spesies buah, 21 spesies sayur- mayur, 8 spesies rotan, 77 spesies tanaman obat, dan berbagai spesies lain.

”Jika berbicara tentang mikroba, entah berapa juta spesies mikroba yang ada dalam hutan tropis Indonesia. Pengungkapan manfaat aneka spesies bisa mempunyai nilai ekonomi tidak terhingga,” kata Endang.

Ia mencontohkan nilai ekonomis yang dihasilkan penelitian mikroba Actinomycetes dactylosporangium.

”Koleksi Dactylosporangium dunia hanya ada enam spesies. Laboratorium penelitian farmasi asal India, Ranbaxy Laboratories Ltd, meneliti spesies Dactylosporangium aurantiacum dan menemukan obat infeksi akut saluran kencing dan paru-paru. Setelah obat itu disetujui BP POM AS atau FDA pada 2006, di tahun pertama saja Ranbaxy meraih omzet 62,7 juta dollar AS,” kata Endang.

Peluang besar

Indonesia memiliki koleksi 10 spesies Actinomycetes dactylosporangium yang berbeda dari enam koleksi dunia.

”Indonesia berpeluang besar menemukan obat, tetapi Indonesia kurang memerhatikan penelitian biologi. Akibatnya, keanekaragaman hayati belum dijadikan modal daya saing global Indonesia,” kata Endang.

Ketidakpahaman manfaat keanekaragaman hayati menghasilkan kebijakan yang salah arah. ”Hutan terus dibuka, termasuk untuk ekspansi perkebunan kelapa sawit. Jika kita berhenti mengekspor CPO (crude palm oil) dan membuat memberi nilai tambah CPO menjadi bahan baku polimer misalnya, pendapatan negara akan naik tanpa ekspansi lahan. Dan keanekaragaman hayati terlindungi,” katanya.

Pakar Kebijakan dan Hukum Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Harry Alexander dalam diskusi yang sama menyatakan, Indonesia akan diuntungkan jika Konferensi Ke-10 Para Pihak Konvensi Keanekaragaman Hayati (COP-10 CBD) yang sedang berlangsung di Nagoya, Jepang, menyepakati protokol akses dan pembagian keuntungan (ABS).

”Jika ABS disepakati, Indonesia tak perlu takut ada spesies asli Indonesia yang dijadikan bahan baku dari sebuah paten di negara lain. Indonesia sebagai negara asal spesies berhak mendapat keuntungan dari pemanfaatan sebuah spesies,” kata Harry.

ABS bahkan bisa membatalkan sebuah paten di negara lain yang terbukti dihasilkan dari penggunaan tidak sah keanekaragaman hayati Indonesia.

”Dalam ABS, tidak menjadi soal siapa yang terlebih dahulu mendaftarkan paten. Persoalannya adalah siapa yang bisa membuktikan diri sebagai negara asal spesies. Karena spesies endemik Indonesia terbanyak kedua di dunia, Indonesia sebenarnya diuntungkan,” kata Harry. (ROW)

Kompas, 16 Oktober 2010