Monday, January 17, 2011

Biodiversitas Tersia-siakan

Biodiversitas Tersia-siakan
Sabtu, 16 Oktober 2010

Keanekaragaman hayati Indonesia dengan spesies endemik terbanyak kedua di dunia harus menjadi modal dalam persaingan global. Kendati memiliki potensi nilai ekonomi tidak terhingga, pelestarian keanekaragaman hayati belum menjadi arus utama pembangunan Indonesia.

Deputi Bidang Ilmu Hayati pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Endang Sukara menyatakan, fakta bahwa Indonesia adalah gudang raksasa keanekaragaman hayati sudah diketahui.

”Namun, publik maupun pengambil kebijakan belum memahami manfaat keanekaragaman hayati sebagai modal daya saing global,” kata Endang dalam diskusi di Jakarta, Kamis (14/10) petang.

Dari hutan dataran rendah Jambi saja, hasil hutan nonkayu yang bernilai ekonomis meliputi 51 spesies buah, 21 spesies sayur- mayur, 8 spesies rotan, 77 spesies tanaman obat, dan berbagai spesies lain.

”Jika berbicara tentang mikroba, entah berapa juta spesies mikroba yang ada dalam hutan tropis Indonesia. Pengungkapan manfaat aneka spesies bisa mempunyai nilai ekonomi tidak terhingga,” kata Endang.

Ia mencontohkan nilai ekonomis yang dihasilkan penelitian mikroba Actinomycetes dactylosporangium.

”Koleksi Dactylosporangium dunia hanya ada enam spesies. Laboratorium penelitian farmasi asal India, Ranbaxy Laboratories Ltd, meneliti spesies Dactylosporangium aurantiacum dan menemukan obat infeksi akut saluran kencing dan paru-paru. Setelah obat itu disetujui BP POM AS atau FDA pada 2006, di tahun pertama saja Ranbaxy meraih omzet 62,7 juta dollar AS,” kata Endang.

Peluang besar

Indonesia memiliki koleksi 10 spesies Actinomycetes dactylosporangium yang berbeda dari enam koleksi dunia.

”Indonesia berpeluang besar menemukan obat, tetapi Indonesia kurang memerhatikan penelitian biologi. Akibatnya, keanekaragaman hayati belum dijadikan modal daya saing global Indonesia,” kata Endang.

Ketidakpahaman manfaat keanekaragaman hayati menghasilkan kebijakan yang salah arah. ”Hutan terus dibuka, termasuk untuk ekspansi perkebunan kelapa sawit. Jika kita berhenti mengekspor CPO (crude palm oil) dan membuat memberi nilai tambah CPO menjadi bahan baku polimer misalnya, pendapatan negara akan naik tanpa ekspansi lahan. Dan keanekaragaman hayati terlindungi,” katanya.

Pakar Kebijakan dan Hukum Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Harry Alexander dalam diskusi yang sama menyatakan, Indonesia akan diuntungkan jika Konferensi Ke-10 Para Pihak Konvensi Keanekaragaman Hayati (COP-10 CBD) yang sedang berlangsung di Nagoya, Jepang, menyepakati protokol akses dan pembagian keuntungan (ABS).

”Jika ABS disepakati, Indonesia tak perlu takut ada spesies asli Indonesia yang dijadikan bahan baku dari sebuah paten di negara lain. Indonesia sebagai negara asal spesies berhak mendapat keuntungan dari pemanfaatan sebuah spesies,” kata Harry.

ABS bahkan bisa membatalkan sebuah paten di negara lain yang terbukti dihasilkan dari penggunaan tidak sah keanekaragaman hayati Indonesia.

”Dalam ABS, tidak menjadi soal siapa yang terlebih dahulu mendaftarkan paten. Persoalannya adalah siapa yang bisa membuktikan diri sebagai negara asal spesies. Karena spesies endemik Indonesia terbanyak kedua di dunia, Indonesia sebenarnya diuntungkan,” kata Harry. (ROW)

Kompas, 16 Oktober 2010

No comments: