Monday, January 05, 2009

ANALISIS EKONOMI ATAS PERATURAN TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA: KEMANA KITA HARUS MELANGKAH ?

Harry Alexander[1]
Copyright © 2008 by Harry Alexander


PENDAHULUAN

Indonesia merupakan Negara yang sangat aktif dalam membuka arus investasi bagi industri telekomunikasi. Saat ini Indonesia sudah sangat terkoneksi dengan globalisasi. Tahun 1989, Indonesia mulai mengembangkan kebijakan dan peraturan perundang undangan mengenai telekomunikasi. Mulai tahun tersebut, UU No. 3 Tahun 1989 telah menjadi pijakan utama bagi pengembangan industri telekomunikasi di Indonesia. Hanya sayangnya saat itu sistim telekomunikasi masih kurang effisien karena telekomunikasi hanya didominasi Badan Usaha Milik Negara.

Kelembagaan telekomunikasi di Indonesia sudah lahir sejak Tahun 1966 melalui Keputusan Presiden No. 63 Tahun 1966 (Ditjen Postel, 2008). Pada tahun 1974 kelembagaan telekomunikasi mulai eksis setelah lahirnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) beradasarkan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1974. Saat ini status badan hukum BUMN tersebut telah berubah dari perusahaan umum menjadi Perseroan Terbatas Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom).

Tulisan ini ingin menguji konsekuensi dari peraturan perundang-undangan telekomunikasi bagi industri seluler di Indonesia. Kajian ini ingin akan melihat dari kaca mata analisis ekonomi atas peraturan telekomunikasi.


FRAMEWORK KEBIJAKAN INDUSTRI TELEKOMUNIKASI

Fenomena globalisasi memberikan dampak yang siginifikan bagi kebijakan dan regulasi di bidang telekomunikasi di Indonesia. Negara seperti Indonesia yang terkoneksi dengan system global harus mengharmonisasikan kebijakan dan regulasinya dengan prinsip-prinsip yang diakui oleh masyarakat internasional.

Di awal perkembangan kebijakan telekomunikasi di Indonesia, Pemerintah Indonesia mengontrol atas industri telekomunikasi di tanah air melalui Badan Usaha Milik Negara PT Telekomunikasi. Saat itu konsumen hanya memiliki single point kontak untuk semua urusan telekomunikasi mereka. Monopoli telah menghambat pelayanan konsumen dan menutup kompetisi khususnya layanan seluler dan telekomunikasi jarak jauh.

Pada tahun 1990-an, konsumen dan bisnis telekomunikasi lainnya mulai sadar bahwa biaya akses yang selama ini dibebani oleh layanan telekomunikasi jarak jauh dan inter-exchange carriers ke semua jaringan telepon lokal telah membuat biaya komunikasi sangat mahal. Bahkan sampai tulisan ini di dibuat, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) belum menginvestigasi monopoli dan kurangnya kerjasama yang dilakukan oleh BUMN kepada perusahaan lain dibidang telekomunikasi.

Walaupun akhirnya teknologi fiber optic dan transmisi digital untuk telepon telah memainkan peranan kunci dalam membuka iklim akses yang kompetitif. Saat ini ada Perusahaan yang mulai menggunakan alternative teknologi seperti teknologi fiber optic dan transmisi digital yang langsung melayani konsumen di kota-kota besar seperti Jakarta.

Dalam konteks regulasi, peraturan perundang undangan yang paling fundamental mengatur industri telekomunikasi adalah UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi. UU ini mengatur semua aspek dalam sektor telekomunikasi termasuk kedaulatan Negara atas telekomunikasi, penyelenggaraan, perizinan, interkoneksi, telekomunikasi khusus, perangkat telekomunikasi dan aktifitas pengamanan dari sektor telekomunikasi.

UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi disahkan sebagai respon atas kegagalan UU No. 3 Tahun 1989 karena tidak effektif memberikan kerangka hukum dan tidak sesuai dengan perkembangan telekomunikasi modern. Secara khusus, pemerintah melahirkan UU ini untuk merestrukturisasi penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, jasa telekomunikasi dan telekomunikasi khusus.

Dalam rangka menstandarkan sektor telekomunikasi, UU No. 36 Tahun 1999 membuka kerang swasta dalam penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi Padalah sebelum UU ini lahir penyelenggaraan telekomunikasi hanya diberikan kepada pemerintah dan BUMN.

Selain UU No. 36 Tahun 1999, industri telekomunikasi di Indonesia juga diatur oleh peraturan pelaksana dari UU No. 36 Tahun 1999 tersebut baik berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri Informasi dan Komunikasi RI. Industri telekomunikasi Indonesia juga harus memperhatikan peraturan perundang undangan lainnya yang tidak terkait secara langsung.

Kerangka hukum telekomunikasi di Indonesia yang ada saat ini masih tidak memberikan cukup kepastian hukum bagi investasi di bidang telekomunikasi. Perlindungan konsumen juga belum menjadi arus utama dalam kebijakan dan regulasi. Regulasi dan industri telekomunikasi modern seharusnya menempatkan konsumen sebagai salah satu bagian terpenting bagi sektor pertelekomunikasiaan dan oleh karenanya perlu dilindungi.

Regulasi dan kebijakan telekomunikasi di Indonesia masih belum optimal dalam menciptakan iklim kompetisi yang sehat. Hal ini diperlihatkan masih memungkinkan lahirnya ” anak emas” dan ”anak tiri”. Perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah masih sering diuntungkan dengan kebijakan dan regulasi yang ada.

Hal ini diperparah dengan belum terciptanya iklim yang kondusif bagi pengambilan kebijakan telekomunikasi yang meng-unbundle dan membuka kompetisi seluas-luasnya. Dalam konteksnya, pemerintah harus benar-benar hanya menjadi regulator dan enabler dan tidak mencampuri terlalu jauh bisnis telekomunikasi itu sendiri.


DEREGULASI SEKTOR PERTELEKOMUNIKASIAAN

Perkembangan jaman dan teknologi menuntut terjadinya reformasi hukum di bidang telekomunikasi di Indonesia. Reformasi hukum tersebut menghadapi tantangan untuk menciptakan kebijakan dan hukum telekomunikasi yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri telekomunikasi modern.

Peraturan perundang undangan di sektor telekomuniksi yang berlaku saat ini dianggap sudah tidak sesuai dan bahkan menghambat perkembangan teknologi dan industri telekomunikasi modern khususnya bagi investasi asing. Sering kali peraturan perundang-undangan telekomunikasi dan investasi asing mendapatkan komplain dari masyarakat bisnis internasional khususnya mengenai kepastian investasi jasa dan industri pertelekomunikasian.

Sebelum tahun 1994, refomasi kebijakan dan hukum telekomunikasi dilaksanakan melalui paket paket deregulasi. Sayangnya reformasi hukum melalui deregulasi tidak dilegalisasikan melalui penyusunan Undang-Undang walaupun substansinya membutuhkan keberadaan Undang-Undang tersebut. Pilihan regulasi yang diambil sering hanya menggunakan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri). Hanya setelah 1999, kebijakan dan hukum pertelekomunikasikan dilakukan melaui Undang-Undang.

Indonesia memerlukan peran serta modal asing dalam pengembangan industri telekomunikasinya. Alasan pertama urgensi modal asing adalah untuk meningkatakan pertumbuhan ekonomi (economi growth), memperluas lapangan kerja, membangun infrastruktur dan pengembangan daerah tertinggal.

Alasan kedua, penanaman modal asing di bidang telekomunikasi dilakukan agar terjadi alih teknologi. Negara investor mendapatkan keuntungan dari penjualan patent, desain industri dan hak merek. Disisi lain Indonesia akan mendapatkan transformasi teknologi dalam rangka mempercepat proses pembangunan.

Investasi asing diperlukan dalam pengembangan industri telekomunikasi di Indonesia karena jika kita hanya mengandalkan komitmen dalam negeri, maka kita tidak bisa lagi memberikan tambahan layanan telekomunikasi kepada pelanggan baru. Hal ini disebabkan kemampuan dan kapasitas Pemerintah dan BUMN yang sangat terbatas, sedangkan kebutuhan layanan telekomunikasi terus meningkat jauh melampaui kemampuan Pemerintah dan BUMN yang ada. Investasi asing juga sangat diperlukan untuk menyediakan dan membuka akses telekomunikasi tidaknya di pulau Jawa tetapi juga daerah terpencil di luar pulau Jawa. Agar hal ini dapat direalisasikan dengan cepat pemerintah perlu memberikan insentif kepada investor dengan pembangunan infrastuktur telekomunikasi.


KEMANA KITA HARUS MELAKAH ?

Di masa depan, politik kebijakan dan regulasi di bidang telekomunikasi harus mempertegas unbundling system dimana terjadinya China wall antara komponen pelayanan, jasa pelayanan jaringan, dan penentuan biaya yang layak bagi biaya akses ke jaringan komunikasi. Selain itu koneksi telekomunikasi harus segera dan langsung tanpa ada yang menghalagi demi keuntungan pihak tertentu.

Kebijakan dan regulasi industri telekomunikasi di masa depan juga harus memberikan kepastian hukum bagi investasi di bidang telekomunikasi, perlindungan konsumen dan mampu menciptakan iklim kompetisi yang sehat. Di masa depan pemerintah harus benar-benar hanya menjadi regulator dan enabler bagi indutri telekomunikasi di Indonesia. Dalam proses deregulasi, pemerintah harus mengurangi persyaratan yang menyulitkan investasi di bidang ini dan harus mampu menyediakan konsumen layanan alternative yang kompetitif.


[1] Harry Alexander adalah staf pengajar di beberapa perguruan tinggi dan pemerhati good governance di Indonesia. Beliau mendapatkan gelas SH dan MH dari FHUI dan LL.M dari Lewis & Clark, Northwestern School of Law, Portland, OR, USA.